Selasa, 19 September 2017

Manajemen Perubahan - Organisasi Non Hirarki

ORGANISASI NON HIRARKI
Eksistensi Birokrasi dan Dinamika Perubahan


Beberapa kalangan menilai bahwa manajemen perubahan pada organisasi pemerintah relatif lebih lebih sulit dilakukan karena pada birokrasi pemerintahan setidaknya memiliki ciri, antara lain (1) Sangat terikat dengan regulasi / peraturan; (2) Merupakan konsensus politik / kesepakatan; (3) Masa kepemimpinan pendek; dan (4) Terlalu banyak yang dituntut oleh stakeholders. Paling tidak hal ini tergambar dari pendapat Michel Crozier dalam Fred W. Riggs (1996) yang mengatakan bahwa birokrasi sebagai “pemerintahan oleh sejumlah biro”, yakni pemerintahan oleh sejumlah departemen Negara yang diisi oleh staf yang ‘ditunjuk’ dan bukan ‘dipilih’ atau diorganisasikan secara hierarkhis, dan keberadaannya bergantung pada otoritas yang mutlak. Kekuasaan birokrasi lanjutnya dalam pengertian ini menggambarkan tentang berkuasanya hukum dan tatanan, tetapi pada saat yang sama pemerintahan tersebut tanpa didukung oleh peran serta mereka yang diperintah.

Jika kita berkaca pada pandangan tersebut di atas untuk menilai praktek birokrasi di Indonesia maka sesungguhnya banyak hal yang dapat kita paparkan. Karena bagaimanapun, praktek birokrasi Indonesia telah berjalan selama lebih dari setengah abad dengan segala dinamika ketatanegaraan, politik, sosial maupun budaya yang mengirinya. Paparan dengan nuansa ‘history” dimulai ketika Indonesia resmi menjadi Negara yang lepas dari penjajahan, maka pada saat itu kita tidak memiliki modal yang memadai selain semangat perjuangan dan nasionalisme. Pada awal terbentuknya Negara tersebut, tepatnya ketika era demokrasi parlementer, pemerintah pusat dihadapkan pada pembentukan DI/TII dibeberapa daerah Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di Aceh oleh Teungku Daud Beureuh yang ditandai dengan berdirinya Negara Bagian Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), sementara itu di Ambon, Soumukil memproklamirkan RMS. Pada pertengahan 1950-an, muncul pemberontakan PRRI yang berpusat di Sumatra Barat dan Permesta yang berbasis di Sulawesi Utara. Pemberontakan ini muncul sebagai bentuk kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat setempat. Selanjutnya, ketika Indonesia memasuki demokrasi terpimpin, Pada masa itu birokrasi sangat jauh dari fungsi idealnya, yaitu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan pemerintah lebih disibukkan dengan menangani berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah. fungsi utama pemerintahan adalah mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan untuk melaksanakan tujuan tersebut, secara sadar usaha mengakomodasi paham dan aliran yang diintegrasikan dalam suatu ajaran menjadi tidak terhindarkan. Pada saat itulah Soekarno menggaungkan ajaran NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). Celakanya konsepsi integrasi atas beberapa ideology tersebut politik justru melahirkan konflik antara ketiga aliran tersebut yang berujung pada terjadinya serangkaian pemberontakan dan separatis. Al-Rasyid dalam Buyung (1999). Pada masa itu pelayanan publik nyaris tidak memperoleh perhatian dari Birokrasi. Birokrasi yang memiliki cakupan urusan pemerintahan mulai dari bagaimana pelayanan terhadap bayi yang baru lahir sampai pada pengurusan kerangka yang sudah lama terkubur tidak begitu nampak pada masa Orde Lama. Birokrasi lebih tampil sebagai safeguard dari persatuan dan kesatuan bangsa. Ada tiga kendala utama dari organisasi publik yang menyebabkan hal tersebut, yaitu pertama adanya desakan untuk menjaga kemerdekaan dan kesatuan. Kedua, rendahnya tingkat kedewasaan politik yang membentuk sistem politik yang bukan saja pluralistik, namun juga anomik-anarkik. Ketiga, iklim internasional yang masih mengacu pada pembentukan geo-politik daripada geo-ekonomi. Ketiga kendala tersebut yang membuat organisasi publik gagal membuat kebijakan publik yang adaptif terhadap perubahan jaman (Riant Nugroho Dwidjowijoto:2000).

Pada zaman Orde Baru, birokrasi benar-benar dikonsolidasikan dan diefektifkan di bawah kekuasaan Negara dan partai penguasa. Sepanjang 32 tahun, organisasi publik memberikan kontribusi yang signifikan. Manajemen yang terpusat senantiasa mengacu pada kebijakan prioritas kepada pengajaran ketertinggalan secara ekonomi daripada pengembangan demokrasi. Fungsi ini diperankan oleh birokrasi mulai dari pusat hingga ke daerah. Dampak dari proses pemanfaatan birokrasi oleh penguasa adalah organisasi publik cenderung menjadi sebuah entitas tersendiri yang menjadi kuat daripada publiknya. Birokrasi dalam beberapa tingkat menyublim menjadi bagian dari kekuasaan, bahkan identik dengan kekuasaan itu sendiri. Birokrasi menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat yang pada gilirannya menjadikan mereka tidak mampu lagi merespons kepentingan publik karena adanya kecenderungan lebih memenuhi kebutuhan dan kepentingan penguasa dan dirinya. Pada era Orde Baru tersebut kondisi birokrasi relatif sama dengan yang dialami oleh negara berkembang lainnya yaitu birokrasi serba lamban dan tidak efisien. Keadaan demikian dijelaskan oleh Fred W. Riggs (1996) bahwa Fenomena Birokrasi pemerintahan di Negara berkembang, di mana keadaan masyarakatnya sedang dalam proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri atau dari tradisional menuju masyarakat modern masih cenderung bersifat paternalistik, formalistik, tumpang tindih, nepotis, dan mekanistik. Keadaan tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban pegawai tidak pada apa yang baik atau apa yang perlu dikerjakan, namun hanya mengikuti peunjuk pimpinannya semata.


Semenjak era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde baru pada tahun 1998, banyak terjadi perubahan manajemen pemerintahan di Indonesia. Perubahan manajemen perubahan tersebut membawa pengaruh terhadap terjadinya perubahan dalam menata birokrasi pemerintah. (Thoha: 2011).


Uraian di atas menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa hadir dalam setiap dinamika perkembangan dan perubahan ketatanegaraan, meski dalam konteks pemerintahan di Indonesia maka eksistensi birokrasi dapat saja dipandang belum melaksanakan fungsi idealnya khususnya berkenaan dengan hubungan pemerintahan.


Birokrasi Pemerintah dan Responsifitas Terhadap Globalisasi

Era globalisasi menimbulkan tantangan-tantangan baru, harapan-harapan baru, peluang-peluang baru, demikian pula masalah-masalah baru yang menuntut dilakukannya reformasi dalam birokrasi agar lebih mampu mengantisipasi perubahan. Reformasi yang dimaksud meliputi pembenahan-pembenahan yang bersifat struktural dan fungsional menuju terciptanya birokrasi yang efisien dan produktif, meningkatnya mutu sumber daya aparat sebagai pelaku birokrasi, perbaikan sistem imbalan dan pola pengembangan karier pegawai, serta peningkatan pengawasan dan pengendalian (Achmady:1999).


Pada zaman yang modern dimana masalah yang dihadapi oleh pemerintahan semakin kompleks menjadikan birokrasi sebagai organisasi yang hidup. Kehadiran birokrasi tidak dalam pengertian fisik semata, namun dapat memberi makna dan senantiasa merespons adanya dinamika yang berkembang. Jika lembaga publik (dibaca: birokrasi) mengalami kegagalan yang diakibatkan ketidakpekaan terhadap lingkungan dan pada akhirnya tidak mampu merespon perubahan, sementara perubahan sebagai keadaan yang tidak terelakkan maka organisasi publik tersebut cenderung dihadapkan pada dua pilihan yang tidak produktif, yaitu menjadi kaku atau menolak, serta menjadi lamban dan masa bodoh.


Memang disadari bahwa meski praktek birokrasi dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang ditunjukkan dengan adanya e-government namun birokrasi pemerintahan (di Indonesia) cenderung masih membawa semangat dan kondisi yang diwarisi sebelumnya, seperti hierarkhi yang berakar dengan kultur pamongpraja. Karena bagaimanapun juga birokrasi cukup terikat kepada kondisi budaya masyarakat. Mengubah budaya birokrasi bukan hal yang mudah apalagi birokrasi yang belum terbebas dari kecenderungan aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Namun jika para pimpinan nasional memiliki political will yang kuat upaya perbaikan itu bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan karena adanya hierarkhi kewenanganpun memiliki pengaruh yang integratif termasuk dalam dunia birokrasi.


Menanggapi globalisasi dan modernisasi itu, kedepan, birokrasi diharapkan dapat berfungsi entrepreneurial yang diwujudkan melalui kebijakan yang menciptakan lingkungan makroekonomi yang stabil dalam rangka mengurangi resiko investasi jangka menengah dan panjang. Selain itu, birokrasi melaksanakan berbagai program deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi high cost economy dengan proses usaha dan reduksi biaya administrasi, terutama yang menyangkut perdagangan, investasi dan kegiatan usaha ekonomi pada umumnya. Dalam rangka mengemban fungsi itu pula, birokrasi mengarahkan kebijakan moneter dan fiscal untuk mendukung iklim usaha yang sehat dan bergairah dengan tetap memberi perhatian pada upaya menjaga stabilitas ekonomi. (Thoha dalam Dharma:1999). Sementara itu, sebagai bagian dari globalisasi ialah liberalisasi ekonomi memaksa birokrasi untuk menyerahkan sebagian dari kewenangannya pada mekanisme pasar. Hal itu berarti peranan birokrasi ke depan lebih pada influencing and directing. Pelaksanaan peran tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai upaya, diantaranya pertama birokrasi semakin mencurahkan perhatian terhadap pelayanan kepada publik (customer-driven) dan tidak asyik dengan dirinya sendiri; kedua Birokrasi mendorong kompetisi menuju the best performance bukan saja antara sektor swasta dan sektor pemerintah, dan antar lembaga di dalam sektor publik; dan ketiga Birokrasi mengembangkan langkah-langkah preventif dibandingkan langkah-langkah kuratif. Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi perkembangan masa depan


Share:

0 komentar:

Posting Komentar


Wikipedia

Hasil penelusuran

© 2017 Management Access. All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.